Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Bukankah Dia (Allah) Dzat yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum, yang tidak pernah berbuat aniaya dan tidak menzalimi siapapun…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [8/435] cet. Dar Thaibah)
Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca: hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari’at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-Tsalits al-‘Ali, hal. 37)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)
Imam Nawawi rahimahullah menafsirkan hadits di atas, “Arti hadits ini, bahwasanya dia tidak mau mencari (berharap) kepada selain Allah ta’ala, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh kecuali apa-apa yang sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnul Haitsam)
Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan, “Siapakah yang lebih adil [hukumnya]?!” selain daripada hukum Allah. Adapun maksud “Bagi orang-orang yang yakin” adalah “orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur’an.” (lihat Zaadul Masir, hal. 390)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum jahiliyah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari’at. Ia disebut hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/82])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila kalian memutuskan hukum diantara manusia hendaklah kalian memberikan keputusan hukum dengan adil.” (QS. An-Nisaa’: 58)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menyeret kalian sehingga berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal itu (keadilan) lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Imam al-Baghawi menafsirkan, “Yaitu berbuat adillah, baik kepada teman kalian maupun kepada musuh kalian.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 364)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu memutuskan hukum maka berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.” (QS. Al-Ma’idah: 42)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (kebaikan), memberikan santunan kepada sanak kerabat, melarang dari perkara yang keji dan munkar serta melanggar hak orang lain.” (QS. An-Nahl: 90)
Abu Sulaiman berkata, “Adil dalam bahasa arab artinya adalah bersikap inshof/objektif. Sedangkan sikap inshof yang paling agung adalah pengakuan terhadap Sang Pemberi nikmat (al-Mun’im) atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya (yaitu dengan bertauhid, pent).” (lihat Zaadul Masir, hal. 791)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qoyyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala berfirman tentang isi wasiat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Demikian pula, orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum jahiliyah adalah orang yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam kesesatan, bahkan hal itu bisa menjatuhkan dirinya ke dalam kekafiran.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim itu.” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma’idah: 44)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma’idah: 45)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma’idah: 47)
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 386)
Abu ‘Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum Yahudi.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/494])
Thawus menjelaskan maksud “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas mengenai maksud ayat di atas. Ibnu ‘Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (lihat al-Qaul al-Ma’mun, hal. 17)
Dalam riwayat yang lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])
Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik…” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])
Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/498-499])
al-Qusyairi berkata, “Adapun madzhab Khawarij adalah barangsiapa yang melakukan tindak suap atau berhukum bukan dengan hukum Allah maka orang itu adalah kafir. Pendapat ini disandarkan orang kepada al-Hasan dan as-Suddi (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/499]). Namun penyandaran ini telah terbantahkan dengan nukilan di atas.
Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dikatakan kafir pada 3 keadaan:
- Apabila dia meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan zina dan khamr.
- Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan hukum Allah
- Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum Allah(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/69] cet. Maktabah al-‘Ilmu)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi menambahkan, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka ini kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya…” (lihat Transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 66)
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari’at dengan undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hal. 297-301, lihat juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)
Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini termasuk maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])
Sungguh tepat ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin! Bukankah pada jaman sekarang ini tidak sedikit kalangan ‘intelektual muslim’ di negeri kita atau di negeri-negeri lain yang telah tertipu dan terpesona oleh pertunjukan demokrasi? Beredarlah ‘keyakinan’ bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Berkembanglah bibit-bibit kekafiran dan kemunafikan yang berjubah keadilan dan perdamaian. Allahul musta’an.
Perlu ditambahkan pula, bahwa para ulama masa kini yang memfatwakan bahwa tasyri’ aam (penetapan aturan yang diberlakukan secara umum) dengan hukum selain Islam adalah kekafiran [akbar] tidaklah menjadikan masalah ini sebagai suatu perkara yang telah disepakati dan tidak boleh ada perselisihan padanya; sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Para ulama yang menganut pendapat itu tidak menghukumi pihak lain yang menyelisihi pendapat mereka sebagai Murji’ah dan semacamnya. Akan tetapi mereka menetapkan hukum dalam hal ini dengan pemahaman bahwa hal itu termasuk masalah kekafiran yang diperselisihkan, sebagaimana halnya hukum orang yang meninggalkan sholat dan zakat (lihat Haqiqat al-Khawarij oleh Faishal bin Qazar al-Jasim, hal. 67)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin kembali menasehati kita, “Bahkan, seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya, bahwa diantara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar kafir keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)
Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang berkeyakinan al-Qur’an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau dan para ulama yang lain tidak mengkafirkan pemerintah dan para dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Mereka tidak memberontak kepada penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa yang memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh para ulama- agar meyakini al-Qur’an adalah makhluk!! (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 263)
Beliau berkata kepada ulama dan hakim yang menganut paham Jahmiyah ketika itu, “Adapun aku, seandainya aku mengucapkan seperti apa yang kalian ucapkan niscaya aku sudah kafir. Meskipun demikian, aku tidak mengkafirkan kalian. Karena dalam pandanganku, kalian ini adalah orang-orang yang bodoh (tidak tahu).” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 63)
Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan diinjak-injak…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)
Pemberontakan tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Di masa seorang pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman [atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 275)
Hasan al-Bashri juga mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 279)
Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)
Demikianlah, sekelumit catatan dan nasehat sederhana yang bisa kami sajikan. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita menuju kebaikan dunia dan akhirat.